Ini Alasan Pemerintah Ngotot BBM Harus Naik ke Rp 6.000

Pemerintah kembali terus menjelaskan alasannya berencana untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi Rp 1.500 menjadi Rp 6.000 per liter. Apa penjelasan pemerintah?

Seperti dikutip dari situs Kementerian ESDM, Kamis (29/3/2012), dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia sudah menjadi negara yang masuk kategori net importir minyak.

Jumlah kebutuhan BBM di dalam negeri tahun ini rata-rata diperkirakan 1,4 juta barel per hari, sedangkan dari produksi dalam negeri hanya sekitar 930 ribu barel per hari dan yang menjadi bagian negara hanya 586 ribu barel per hari.

Dengan masih adanya impor minyak dari luar, kenaikan harga minyak dunia sangat berpengaruh terhadap keuangan negara dan sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk melakukan langkah antisipasi terhadap kenaikan tersebut. Salah satu langkahnya adalah kenaikan harga BBM subsidi yang sampai saat ini masih ditahan Rp 4.500 per liter.

Tanpa kenaikan, pemerintah menilai subsidi BBM dapat mencapai sekitar Rp 178 triliun, dan keseluruhan defisit anggaran pemerintah menjadi sekitar Rp 250 triliun-Rp 300 triliun (atau berada di atas 3% dari PDB-batas yang diperbolehkan oleh Undang-Undang).

Langkah lain yang dilakukan adalah dengan melakukan penghematan anggaran sebagai upaya untuk mengurangi defisit APBN. Penurunan defisit dengan pemotongan anggaran harus berada pada posisi yang aman, agar tidak terjadi perlambatan ekonomi.

Dalam perkembangan harga BBM di Indonesia dari 1990 hingga 2011 menunjukan pemerintah pernah menerapkan harga BBM Rp 6.000 per liter pada 2008 di mana rata-rata harga minyak mentah saat itu masih di bawah harga minyak mentah saat ini. Harga minyak mentah dunia belakangan ini mengalami kenaikan akibat konflik politik di Timur Tengah.

Kenaikan harga BBM juga memberikan kesempatan kepada pengembangan Bahan Bakar Gas (BBG) dan energi alternatif lainnya, dan upaya konservasi energi. Selain itu harus digalakkan kesadaran dalam hemat konsumsi BBM dan mengurangi ketergantungan kepada BBM.

No comments: